Ayyub Arrahman dan M.Sudjak Saenong
Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros
PENDAHULUAN
Peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri masih terbuka lebar, baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam utamanya pada lahan kering di luar Jawa. Meskipun produktivitas jagung nasional meningkat, namun secara umum tingkat produkivitas biji jagung nasional masih rendah yaitu baru mencapai 3,11 t/ha pada tahun 2002 (Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2003). Kegiatan berbagai institusi baik pemerintah maupun swasta telah mampu menyediakan teknologi produksi jagung dengan tingkat produktivitas 4,5-10,0 t/ha tergantung pada kondisi lahan dan penerapan teknologinya. Namun demikian target yang diharapkan sering tidak dapat dicapai karena adanya berbagai kendala. Swastika et al (2004) melaporkan bahwa masalah yang sering dihadapi dalam meningkatkan produksi jagung nasional telah diidentifikasi dan dikelompokkan. Salah satu masalah produksi adalah cekaman lingkungan baik cekaman abiotis maupun biotis. Cekaman biotis berupa gangguan hama, gulma, dan penyakit sering menimbulkan kehilangan hasil yang cukup nyata. Ulat grayak (Spodoptera litura) dapat merusak tanaman 5% sampai 50% (Metcalf dan Metcalf 1993).
Biologi Ulat grayak
Ciri-ciri hama :Ngengat dengan sayap bagian depan berwarna coklat atau keperak-perakan, sayap belakang berwarna keputihan, aktif pada malam hari.
Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadang tersusun 2 lapis), warna coklat kekuning-kuningan, berkelompok (masing-masing berisi 25 – 500 butir) tertutup bulu seperti beludru.
Larva mempunyai warna yang bervariasi, yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi
coklat tua atau hitam kecoklatan dan hidup berkelompok.
Siklus hidup berkisar antara 30 – 60 hari (lama stadium telur 2 – 4 hari, larva yang terdiri dari 5
instar : 20 – 46 hari, pupa 8 – 11 hari).
Serangan :
Ulat menyerang tanaman pada malam hari, dan pada siang hari bersembunyi dalam tanah
(tempat yang lembab).
Larva yang masih kecil merusak daun dan menyerang secara serentak berkelompok. dengan
meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja,
sedang larva berada di permukaan bawah daun.
Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar.
Serangan umumnya terjadi pada musim kemarau.
Tanaman Inang Hama ini bersifat polifag, selain jagung juga menyerang tomat, kubis, dan
tanaman lainnya.
Pengendalian (Muhammad Arifin, 2012)
Menurut Muhammad Arifin (2012) komponen pengendalian ulat grayak dapat dilakukan dengan
berbagai cara yang dapat dipadukan, yaitu:
1. Pangaturan cara bercocok tanam
Cara ini dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan yang kurang menguntungkan bagi ulat grayak
untuk bertahan hidup, tumbuh dan bereproduksi. Pengendalian dengan cara ini biasanya tidak
memberikan hasil yang memuaskan karena sifatnya hanya mengurangi populasi ulat. Meskipun
demikian, cara ini menguntungkan apabila diterapkan dalam program PHT karena menciptakan
lingkungan yang relatif stabil dan tidak memberikan hasil pengendalian yang bera gam, seperti
yang dihasilkan bila mengandalkan insektisida saja. Pengaturan cara bercocok tanam, antara lain
meliputi pengaturan pergiliran tanaman yang disertai bertanam serempak dan bertanam dengan
sistem tumpang sari.
Penanaman kedelai sebaiknya dilakukan sekali setahun pada akhir musim hujan, setelah panen
padi. Kedelai yang ditanam pada waktu tersebut relatif terlindung dari serangan ulat grayak
karena selama musim tanam padi, pakan tidak tersedia dengan cukup sehingga populasi ulat jauh
berkurang. Apabila kedelai ditanam untuk kedua kalinya pada pertengahan musim kemarau,
Pengelolaan Hama Ulat Grayak
Umumnya terserang oleh ulat grayak karena selama musim tanam kedelai pertama, pakan tersedia
dengan cukup sehingga peluang ulat grayak untuk tumbuh dan bereproduksi lebih besar.
2. Cara fisik dan mekanis
Pengendalian fisik dan mekanis merupakan cara yang langsung atau tidak langsung mematikan serangga, mengganggu fisiologi serangga dengan cara yang berbeda dengan insektisida, atau merubah lingkungan nenjadi tidak menguntungkan bagi serangga hama. Cara ini kurang populer karena informasi tentang bioekologi serangga tidak cukup tersedia. Oleh karena itu, peranannya di dalam PHT relatif kecil dan harus dipadukan dengan cara lain. Cara fisik dan mekanis yang dianjurkan dalam mengendalikan ulat grayak adalah dengan memungut dan memusnahkan kelompok telur yang ditemukan.
3. Pemanfaatan musuh alami
Untuk memanfaatkan musuh alami ulat grayak, dilakukan usaha konservasi yang tujuannya adalah
untuk meningkatkan efektivitas musuh alami tersebut di lapang. Misalnya, dalam usaha
memanipulasi lingkungan untuk mengejar hasil panen yang tinggi, insektisida harus digunakan secara selektif terhadap hama sasaran demikian pula caranya, harus dengan dosis, formulasi,
waktu dan frekuensi aplikasi yang cocok.
Saat ini Balittan Bogor sedang meneliti pemanfaatan nuclear polyhadrosis virus (NPV) untuk
mengendalikan ulat grayak. Usaha pemanfaatan NPV ini didasarkan atas kenyataan bahwa pada
tahun 1985 di Lampung Tengah dan Brebes (Jawa Tengah) dijumpai ulat graya k yang mati
terserang NPV. Setelah dilakulkan pengujian LC50 di laboratorium, terbukti bahwa ulat grayak
rentan terhadap NPV (6). Hasil pengujian lanjutan di rumah kaca menunjukkan bahwa konsentrasi
NPV sebesar 2,3 X 107 polyhedra inclusion bodies (PIBs)/ml yang diaplikasikan sebanyak 50 ml/m2
efektif untuk mengendalikan ulat grayak instar I-III (1). Kenyataan tersebut membuka peluang baru
bagi terciptanya pengendalian hayati ulat grayak dengan NPV, terutama untuk daerah-daerah
yang ulat grayaknya tahan terhadap insektisida.
4. Penggunaan insektisida
Insektisida harus digunakan secara selektif, sebagai pilihan terakhir apabila populasi hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain dan apabila telah mencapai ambang ekonomi. Aplikasi insektisida harus dilakukan sedini mungkin pada saat ulat mencapai instar I-III yang relatif rentan terhadap insektisida (11). Apabila aplikasi dilakukan pada saat ulat telah mencapai instar IV -VI, pengendaliannya kemungkinan besar tidak mengenai sasaran karena selain relatif tahan terhadap insektisida, ulat biasanya bersembunyi di dalam tanah selama siang hari. Di samping itu, dengan daya makan ulat yang besar dan cepat, maka tindakan pengendalian terhadap ulat instar IV-VI dikhawatirkan terlambat karena tanaman telah mengalami kerusakan berat. Jenis-jenis insektisida yang direkomendasikan untuk mengendalikan ulat grayak adalah triflumuron, permetrin, klorfluazuron, monokrotofos, diazinon, kuinalfos, karbaril, sipermetrin, decametrin, endosulfan, pentoat, thiazofos, isosaktion, metonil, tiodikarb dan metamidofos (8).
DAFTAR PUSTAKA DAN BACAAN
Arifin, M.2012. Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada Tanaman Kedelai.
http://muhammadarifindrprof.blogspot.com/2011/02/22-teknologi-pengendalian-ulatgrayak.html. Diakses tgl 13 Desember 2012.
Arifin, M. 1988. Pengaruh konsentrasi dan volume nuclear polyhedrosis virus terhadap kematian
ulat grayak kedelai (Spodoptera litura). Penelitian Pertanian. 8(1): 12-4.
Arifin, M. dan W.I.S. Waskito. 1996. Kepekaan ulat grayak kedelai (Spodoptera litura) terhadap nuclear polyhedrosis virus . Ibid. 1 (Palawija): 74-8.
Ditlintan. 1987. Pestisida untuk pertanian dan kehutanan. Direktorat Perlindungan Tanaman
Pangan, Jakarta. 206 p.
Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan. 2003. www. Deptan.go.id.
Gerbang Pertanian, 2012. http://www.gerbangpertanian.com/2012/11/mengendalikan-ulatgrayak-pada-tanaman.html. Diakses tgl 13 Desember 2012
Laba, I W. dan D. Soekarna. 1986. Mortalitas larva ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada berbagai
instar dan perlakuan insektisida pada kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. 1 (Palawija): 64-8.
Metcalf, RL and RA Metcalf. 1993. Destructive and useful insects, their habits, and their control.
Fifth Edition. Mc Grow-Hill, Inc.
Muhammad Arifin, 2012. Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada
Tanaman Kedelai . http://muhammadarifindrprof.blogspot.com/2011/02/22-teknologipengendalian-ulat-grayak.html. diakses tgl 13 Desember 2012.
Nyayu Fatimah Zahrah, 2012. Pengaruh Iklim Terhadap Hama Ulat Grayak (Spodoptera Litura
Fabricius) Pada Tanaman Kacang Kedelai (Glycine Max (L.) Merill). http://nyayufatimahzahroh.wordpress.com/2012/06/23/pengaruh-iklim-terhadap-hamaulat-grayak-spodoptera-litura-fabricius-pada-tanaman-kacang-kedelai-glycine-max-lmerill/. Diakses tgl 13 Desember 2012.
Reza Pahlevi Barasi, 2012. Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Jagung .
http://rezabarazi.blogspot.com/2011/11/pengendalian-hama-penyakit-tanaman.html.
Diakses tgl 13 Desember 2012.
Tanindo, 2012. Hama jagung.
http://www.tanindo.com/index.php?option=com_content&view=section&layout=blog&id
=37&Itemid=40. Diakses tgl 13 Desember 2012.
Swastika, K.S. Dewa., F. Kasim, W. Sudana, Rachmat Hendayani, Kecuk Suhariyanto, Robert V. Gerpacio, and Parabhu L. Pingali, 2004. Maize in Indonesia, Production systems,
constraints, and Research Priorities . CIMMYT.