Ayyub
Arrahman dan M.Sudjak Saenong
Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros
PENDAHULUAN
Menurut
Hasan Basri dkk (2012) Sitophilus pertama kali dikenal pada tahun 1763
di Suriname dan diperkenalkan oleh Linnaeus dengan nama Curculio oryzae. Kemudian namanya
diperbaharui menjadi Calandra oryzae
dan terakhir diubah menjadi Sitophilus oryzae. Pada
tahun 1885 ditemukan Sitophilus zeamais Motschulsky.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa kedua Sitophilus tersebut
merupakan dua spesies yang berbeda, tetapi peneliti yang lainnya menyatakan
bahwa keduanya merupakan variasi dari spesies yang sama. Karena kemiripan dan
hidupnya yang bersama-sama, dahulu hanya disebut sebagai Sitophilus oryzae. Secara umum S. oryzae lebih kecil daripada S. zeamais. Keduanya tidak
dapat dibedakan baik dari morfologi luar dan ukuran tubuh maupun kesukaan
makanannya dilakukan dengan pemeriksaan genitalia (alat kelamin) yaitu aedeagi
pada jantan dan sklerit Y pada betina. Serangga jantan dan betina dapat
dibedakan dari bentuk moncong atau rostrum. Dilihat dari permukaan dorsal,
moncong jantan lebih besar, berbintik-bintik kasar dan kusam. Moncong serangga
betina mulus, berbintik–bintik melebar dan licin. Jika moncong dilihat dari
atas, pada jantan lebih pendek dan lebar, pada betina lebih panjang dan sempit.
Dilihat dari samping moncong betina lebih panjang, kecil dan agak melengkung ke
bawah.
Biologi Sitophilus
zeamais. Sitophilus sp adalah serangga hama yang berupa kumbang kecil berwarna coklat
kemerah-merahan, berukuran 3-4 mm dan mempunyai 4 bercak terang berwarna
kemerah-merahan atau kekuning-kuningan dibawah sayapnya (Borror et.al.,1979).
Baik serangga dewasa maupun larvanya makan dan berkembang dalam biji. Serangga
induk menggerek/melubangi biji kemudian meletakkan sebutir telur, setelah itu
menutupinya dangan cairan kenyal. Seekor serangga betina mampu meletakkan telur
300-500 butir dalam 4-5 bulan. Periode inkubasi telur memakan waktu 3 hari.
Larvanya berupa lundi tanpa kaki berwarna putih dan kepalanya berwarna coklat.
Larva menjadi dewasa dalam 3-6 hari. Panjang umur(longevity) serangga dewasa
sekitar 4-5 bulan. Biasanya terdapat 5-7 generasi dalam setahun (Teetes et.al.,
1983). Serangga hama ini termasuk famili Curculionidae dan paling banyak
merusak produk pertanian yang berupa biji-bijian di penyimpanan (gudang) dan di
lapangan. Diketahui ada 2 genus yaitu Sitophilus oryzae Lin dan Sitophilus
zeamais Motsch (Teetes et.al., 1983), sebelumnya serangga ini
dikenal sebagai Calandara oryzae kemudian terbagi menjadi Sitophilus
oryzae Lin yaitu kumbang yang berukuran kecil, sedang yang berukuran lebih
besar adalah Sitophilus zeamais Motsch (Wafiah et.al., 1997),
namun yang paling dominan ditentukan pada produk pertanian adalah Sitophilus
zeamais Motsch (Van der Laan, 1981).
Ekologi Serangga Hama . Telah banyak usaha-usaha para ahli untuk melihat lebih jauh tata
cara atau upaya untuk mendapat cara yang mantap atau sebaik mungkin guna dapat
mengendalikan dan mengatasi gangguan hama baik pada kondisi tanaman masih
berada di lapangan maupun pada saat pasca panen (periode penyimpanan).
Keberhasilan para ahli dalam kegiatan dan usaha ini harus ditunjang oleh
pengetahuan tentang urgensinya memahami ekologi suatu serangga hama. Ekologi hama adalah suatu cabang ilmu yang
mempelajari tentang hubungan antara faktor luar lingkungan dengan hama serangga
itu sendiri yang menentukan perkembangan maupun kemunduran dari populasi suatu
hama. Faktor-faktor tersebut khusus untuk umumnya hama gudang dibagi atas; a)
faktor makanan (kualitas, kadar air), b) faktor iklim (temperatur, kelembaban,
cahaya, aerasi), c) keadaan musuh alami (predator, parasit, patogen), d) faktor
kegiatan manusia. Faktor-faktor tersebut diatas dapat mempengaruhi kehidupan
hama tanaman dan produk pertanian dalam simpanan, baik secara sendiri maupun secara
bersama. Makanan yang cukup sangat berpengaruh pada perkembangbiakan hama, yang
dalam hal ini dapat meningkatkan populasi hama. Iklim berpangaruh besar baik
terhadap hama serangganya maupun kondisi musuh almnya. Musuh alam berada
seimbang dengan serangga hama akan dapat menekan musuh serangga hama sebaliknya
bila jumlah populasinya kecil maka peranannya juga semakin kecil. Faktor
kegiatan manusia dalam mengeksploitasi alam atau menekan serangga hama justru
dapat menimbulkan masalah baru dengan munculnya hama. Kasus-kasus seperti
resistensi dan resurgensi suatu hama merupakan contoh konkrit dari faktor ini
diakibatkan oleh kegiatan manusia.
Peranan Faktor Makanan. Pada hama-hama tanaman pangan, dan produk pertanian dalam
simpanan, makanan sangat diperlukan untuk menopang tingkat hidup yang aktif,
terutama pada proses peneluran dan stadium larva. Stadium imago porsinya
menjadi kecil karena periode kehidupannya menjadi relatif pendek apabila
hama-hama tersebut telah meletakkan telur. Kesesuaian makanan erat kaitannya
dengan dinamika serangga memilih sumber makanan yang cocok untuk pertumbuhan
populasinya atau dalam proses perkembangbiakan keturunannya. Sebagai contoh,
kandungan protein, lemak dan P yang tinggi pada komoditas sorgum dibanding
beras dan jagung, ternyata sorgum lebih cocok untuk perkembangbiakan serangga Sitophilus
sp (Yayuk et.al., 1990). Fenomena tersebut memberikan indikasi bahwa
kualitas makanan suatu bahan mempunyai arti yang sangat dalam kaitannya dengan
percepatan perkembangbiakan serangga yang pada akhirnya berpengaruh pada
tingkatan serangan yang dilakukannya (kualitas dan kuantitas serangan).
Kualitas
makanan sangat berpengaruh terhadap perkembangbiakan serangga hama. Pada
kondisi makanan yang berkondisi baik dengan jumlah yang cukup dan cocok bagi
sistem pencernaan serangga hama akan menunjang perkembangan populasi,
sebaliknya makanan yang berlimpah dengan gizi jelek dan tidak cocok akan
menekan perkembangan populasi serangga (Andrewartha dan Birch, 1954).
Ketidakcocokan faktor makanan dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut a)
kurangnya kandungan unsur yang diperlukan serangga, b) rendahnya kadar air
bahan, c) permukaan terlalu keras, bentuk material bahan yang kurang disenangi,
misalnya beras lebih disenangi dari pada gabah.
Kadar Air Bahan. Kondisi
kadar air bahan produk pertanian sangat berpengaruh
pada intensitas kerusakan yang sangat mudah. Hasil penelitian Kalshoven (1981)
disimpulkan bahwa perkembangan populasi kumbang bubuk sangat cepat jika kadar
air bahan simpan lebih dari 15%, sebaliknya bila kadar air bahan diturunkan
maka mortalitas serangga besar sehingga perkembangan populasi terhambat. John
(1991) mencatat bahwa tingkat mortalitas Sitophilus zeamais Motsch
mencapai 75% pada 9,7%, sedang Mas`ud et.al (1996) mencatat kadar air
6,8% dan 10% dapat menghambat laju perkembangan pupulasi Sitophilus zeamais Motsch.
Peranan Faktor Iklim. Perkembangbiakan hama umumnya sangat bergantung pada kondisi iklim
mikro (iklim sekitar). Pada kasus hama gudang, yang dimaksud iklim mikro adalah
kondisi iklim ruang simpan. Unsur-unsur iklim yang sangat berpengaruh pada hama
gudang adalah temperatur, kelembaban, kadar air bahan, cahaya dan aerasi
(Husain, 1982; Cho et.al., 1988).
Temperatur. Hama kumbang bubuk Sitophilus sp
memelurkan temperatur optimum antara 250C – 300C untuk perkembangan. Temperatur
sangat berpengaruh dalam siklus hidup dari fase telur sampai dewasa. Hasil
penelitian Yos Sutyoso (1964: dalam Kartasapoetra, 1991) diperoleh hasil
bahwa pada temperatur 180C dengan (RH 70%) siklus hidupnya 91 hari, pada
temperatur 180C (RH 80%) 70 hari, pada temperatur 210C (RH 70%) 42 hari, pada
temperatur 210C (RH 80%) 37 hari. Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN
:978-979-8940-27-9 403
Kelembaban. Seperti halnya temperatur serangga hama Sitophilus sp
memerlukan kondisi lembab optimum untuk menopang perkembangbiakannya.
Kelembaban optimum untuk serangga hama Sitophilus sp adalah sekitar 75%.
Lebih jauh hasil penelitian Yos Sutyoso tersebut disimpulkan bahwa disamping
siklus hidup dipengaruhi temperatur, kelembaban juga salah satu faktor yang
berpengaruh. Pada perlakuan temperatur tetap (210C) dengan perbedaan
kelembaban, maka siklus hidupnya adalah masing-masing 59 hari pada RH 50%, 52
hari RH 60%, 42 hari pada RH 70% dan 37 hari pada RH 80%.
Intensitas Cahaya.
Pengaruh cahaya (kondisi gelap dan terang) sangat berpengaruh basar terhadap
tingkah laku serangga dalam memilih makanan, dan reproduksi (kopulasi dan
penelusuran) (Weston and Hoffman, 1991; Weston and Hoffman, 1992). Percobaan pendahuluan pengaruh cahaya(kondisi gelap dan terang)
terhadap prefensi serangga dalam memilih makanan yang dilakukan oleh Sudjak
Saenong et.al (1996) disimpulkan bahwa pada pengamatan kondisi terang, prefensi
tertinggi pada pengamatan 24 jam setelah infeksi dicatat pada jagung kuning
16.75%, terendah pada varietas lokal selayar (sorgum) yakni 3.25%. Pada
pengamatan 48 jam, prefensi tertinggi tercatat pada jagung kuning dan putih,
trend menurun tercatat pada varietas IS3552 untuk sorgum masing-masing 13%,
terendah pada varietas selayar 1.50% dan Upcasi 4.30%. Pada pengamatan 48 jam,
prefensi tertinggi tercatat pada jagung putih 25.50%, ICSH91222 dan IS3552
masing-masing 13.75% dan 13%, terendah pada varietas lokal selayar 1.75%,
sedang pada 72 jam, prefensi tertinggi tercatat pada jagung putih dan kuning
masing-masing 22.75%, terendah lokal selayar 2.25 %.
Peredaran
Udara. Faktor peredaran udara ruangan simpan
berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya bahan. Udara yang rendah dengan
aerasi yang kurang akan mendukung perkembangan serangga hama disamping akan
meningkatkan kadar air bahan yang berakibat lunaknya kulit dari biji bahan
simpan. Dengan demikian serangga hama khusus Sitophilus sp akan mudah
menggerek bahan simpan yang kadar airnya tinggi (Mas`ud et.al., 1997;
Kalshoven, 1981). Pada percobaan Barley (1959) dalam Kartasapoetra
(1991) perihal kebutuhan 02 oleh hama bubuk Sitophilus sp dalam gudang
disimpulkan bahwa apabila kadar CO2 > 40% atau O2 > 2%, hama tersebut
dalam semua tingkatan stadianya akan mati. Apabila kadar CO2 diudara pada
kondisi biasa, sedangkan kadar O2 hanya 4% pada temperatur 290C maka yang mati
hanya serangga dewasanya saja, sebaliknya bila CO2 5% dan O2 pada kondisi
biasa, kematian serangga baru terjadi setelah 3 minggu. Dari fenomena ini dapat
disimpulkan bahwa teknologi aerasi udara sangat berpengaruh besar dalam
menyumbang informasi tentang cara-cara pengelolahan hama dan sekaligus bahan
yang disimpan.
Faktor Musuh Alam . Seperti
halnya tanaman lain, hama produksi pertanian dalam simpanan juga mempunyai
faktor musuh alam yang terdiri atas predator, parasit dan patogen. Secara
teoritir dapat dikatakan bahwa apabila keseimbangan antara serangga hama dan
musuh alami sepadan, maka tidak akan terjadi peletupan. Pada kasus hama gudang
teori ini tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan mengingat infestasi bahan
simpan biasanya paling banyak terjadi pada stadium larva yang mana akan sulit
bagi serangga predator untuk melakukan searching terhadap serangga target.
Musuh alam untuk hama gudang yang berbentuk predator misalnya cecak dan tokek
yang memangsa serangga dewasa dalam gudang, juga kumbang Necrobia rufifes dan
larva Omphrate fenestralis dan Omphrate glabrifrons. Musuh alam
yang berbentuk parasit misalnya Pronops nosuta, yang memarasit hama
larva bubuk, Exidechtinis conescens yang memarasit hama gudang ordo
Coleoptera, sedangkan organisme patogen yang menjadi musuh alami hama gudang
umumnya adalah kelompok cendawan khususnya yang menyerang ordo Celeoptera.
DAFTAR
PUSTAKA DAN BACAAN
Andrewartha,H.G., and L.C.Birch. 1954. The distribution and abundance of
animals. The University of Chicago Press.Chicago.
Borror, D.J., D.M.De Long and C.A.Triplehorn. 1981. An
Introduction to the Study of Insect.Saunders Collage Publishing.p.356-549.
Hasan Basri,M., Jahardi, Sayyidatus Sholihah, 2012. SERANGGA HAMA GUDANG
Sitophilus zeamais (Motsch).http://kelasabiologysciencecomunity.wordpress.com/2012/06/11/serangga-hama-gudang-sitophilus-zeamais-motsch/. Diakses tgl 6 Desember 2012.
John,P.,Sed Lack, Robert,J.,Bryan,D.Price, and Maya Siddiqui.
1991. Effect of several management tactics of adult mortality and progeny
production of Sitophilus zeamais (Coleptera:Curculionidae) on stored
corn in the laboratory. Journal of Econ Entomol.84(3): 1042-1046.
Kalshoven,L.E.1981. The pest of crops in Indonesia. Rivised and
translated by P.A.Vander Laan with assistance of G.L.H.Rothsid.PT.Ikhtiar Baru-
Van Hoeven. Jakarta.
Kartaspoetra., A.G.1991.Hama Hasil Tanaman dalam Gudang.
PT.Prince Cipta.Jakarta.
Margot J.G. and J.T.Trumble.1985. Response of Spodoptera Exigua
(Lepidoptera:Noctuide) Larvae to light.Environ.Entomol.14: 65-653
Mas`ud.S., M.Yasin., D.Baco., S.Saenong.1996. Pengaruh kadar air
awal biji sorgum terhadap perkembangan kumbang bubuk Sitophilus zeamais.
Hasil-hasil Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman tahun 1995/1996.Badan Litbang
Pertanian, Balitjas Maros.p.35-44.
Sudjak Saenong.M., Muslimah Hamdani dan Masnawati.1996. Pengaruh
perbedaan warna sumber makanan pada kondisi terang dan kedap cahaya terhadap
prefensi serangga Sitophilus sp jantan dan betina. Prosiding Seminar dan
Pertemuan Tahunan X, PEI, PFI dan HPTI Komda Sul-Sel. Maros 10 Januari
1996.p.76-84
Teetes,G.L., K.V.S.Reddy, K.Leuschener and L.R.House.1983.Sorgum
Insect Identification Hand Book. Information Bulletin no.12.ICRISAT
Van der Laan,P.A.1981.Pest of Crops in Indonesia.Revised from The
plagen van de Cultur gewessen in Indonesia by L.G.G.Kalshoven.Pt.Icthiar
Bon_Van Hoeve,Jakarta.p.197-201;3870437.
Wafiah,A., M.Yasin Said, dan D.Baco. 1997. Inventarisasi serangga
hama gudang sorgum di Sulawesi Selatan. Hasil Penelitian Hama dan Penyakit
1996/1997.hal.57-68
Wikipedia, 2012. Maeze weevil. http://en.wikipedia.org/wiki/Maize_weevil. Diakses tgl 6 Desember 2012
Yayuk,A.B., A.Ispandi dan Sudayono. 1990. Sorgum Monograf.
Bulletin Malang no.5 Balittan Malang.