BEBERAPA JENIS CENDAWAN YANG MENYERANG BIJI
JAGUNG
Ayyub Arrahman
dan M.Sudjak Saenong
Balai Penelitian Tanaman Serealia
Maros
PENDAHULUAN
Menurut Muis et al.
(2002) cendawan yang menginfeksi biji dipenyimpanan dapat bersumber dari
cendawan yang menyerang tanaman jagung di lapangan, hal ini bisa terjadi
apabila penanganan pasca panen kurang bagus. Hasil survey yang dilakukan Muis et al. (2002) menunjukkan bahwa dari
sampel-sampel biji jagung yang dikumpulkan di lapangan, di rumah petani, dan
gudang penyimpanan, menunjukkan bahwa ada tujuh spesies cendawan yang menyerang
biji jagung yaitu Diplodia sp., Fusarium sp., Pennicillium sp., Clados-porium
sp., Rhizopus sp., Aspergillus spp., dan Trichoderma sp. Dari ketujuh spesies cendawan tersebut yang dominan adalah Aspergillus spp. Pakki et al (2002) mengemukakan bahwa spesies Aspergullius yang dominan ditemukan
tersebut adalah A. flavus, selain itu
juga ditemukan A. niger namun
populasinya rendah.
Menurut Semangun (1981) telah ditemukan 10 jenis cendawan yang
menyerang biji jagung, yang dikumpulkan (diambil) dari petani dan pedagang di
Jawa Barat dan Sumatera Barat. Jenis cendawan yang dimaksud adalah Botryodiplodia theobzomae, Curvularia
spp., Fusarium spp., Nigospora oryzae, Cephosporium acremonium,
Phoma sp., Aspergillus spp., Penicillium sp., Diplodia maydis, dan Coletrorichum
giniculatum.
Cendawan A. flavus
sangat berbahaya karena dapat memproduksi mikotoksin yang disebut aflatoksin.
Hasil survey Dharmaputra (1992) dengan mengambil sampel biji jagung pada
petani, pedagang menengah, dan pedagang besar bervariasi. Jagung yang diambil
dari keempat sumber tersebut terserang cendawan A. flavus dengan populasi yang relatif tinggi dan terkontaminasi
oleh aflatoksin dengan konsentrasi yang cukup tinggi yaitu 23 – 267 ppb
(Dharmaputra et al., 1993).
Menurut Shurtleff (1980) bila menyerang ternak aflatoksin dapat
menyebabkan penurunan berat badan, pertumbuhan yang jelek, dan bahkan kematian.
Ternak muda lebih peka dibanding yang lebih tua. Aflatoksin ini juga dapat
menyebabkan gagalnya pengaruh vaksin pada ternak.
Hamilton (1986) melaporkan bahwa aflatoksin sangat berbahaya
karena dapat menyebabkan kanker pada hati manusia, keguguran, dan penurunan
produksi susu dan daging pada ternak. Karenanya FAO telah menetapkan batas
maksimal kandungan aflatoksin 30 ppb (Baiton et al., 1980).
Selain Aspergillus spp.,
cendawan Fusarium sp., dan Penicillium sp. juga dapat menyebabkan
penyakit pada ternak dan manusia (Shurtleff, 1980; Semangun, 1991). Selanjutnya
dikemukakan bahwa cendawan Fusarium
gramineacerum membentuk racun-racun deoksinivelanol (vomitoksin) nivalenol
dan zearalenon. Zearalenon dapat menimbulkan hiperestrogenisme pada ternak
betina yang menyebabkannya menjadi mandul. Racun-racun tersebut tidak hanya
dibentuk di dalam biji, tetapi juga didalam tanaman jagung yang sakit (Bahri et al., 1989). Ochratoksin yang umumnya
dihasilkan oleh penicillium viridicatum
dapat menyebabkan penyakit diare pada ternak. Gejala serangan Aspergillus spp. pada biji adalah adanya
warna hitam atau hijau kekuning-kuningan pada biji atau diantara biji pada
tongkol. Cendawan ini bisa tumbuh pada biji-biji yang rusak. Menurut Rane et al. (2001) cendawan ini muncul pada
keadaan cuaca panas, udara kering, kerusakan akibat cekaman kekeringan atau
kerusakan oleh serangga. Cendawan tumbuh pada penyimpanan bila kelembaban
diatas 18%.
Tongkol yang terserang Diplodia
sp. tidak menampakkan gejala serangan dari luar, namun bila dipatahkan dan biji
dipipil nampak cendawan berwarna putih diantara biji. Serangannya biasanya
dimulai pada bagian-bagian bawah tongkol. Serangan cendawan ini umumnya terjadi pada
pola tanaman jagung diikuti dengan jagung (Munkvold, 1986). Keadaan iklim yang kering diikuti iklim basah yang tidak normal
sebelum atau setelah pembungaan adalah keadaan yang bagi pertumbuhan cendawan Diplodia sp. (University of Illinois,
1991).
Cendawan Fusarium sp.
yang sebagai penyebab penyakit busuk tongkol menyebabkan pembusukan berwarna
merah jambu sampai coklat kemerahan atau coklat kelabu, tergantung dari banyak
sedikitnya cendawan dan cuaca (Semangun, 1991). Cendawan Fusarium sp. tumbuh baik kondisi iklim kering dan hangat. Infeksi
terjadi karena adanya kerusakan biji akibat serangga atau cekaman lingkungan
(Rane, 2001).
Penicillium sp. menimbulkan gejala serangan pada biji ditandai dengan adanya
tepung yang berwarna hijau atau biru kehijauan pada atau diantara biji. Menurut
Shurtleff (1980) cendawan ini terdapat pada biji/benih yang disimpan pada
kelembaban yang tinggi. Serangan cendawan ini terjadi khususnya pada biji yang
rusak secara mekanik atau rusak karena serangan hama penggerek tongkol.
Gejala serangan Cladosporium
sp. ialah cendawannya berwarna abu-abu sampai hitam atau hijau tua dan biasanya
terlihat tepung pada biji (Munkvold, 1986). Jika biji tertutupi secara
keseluruhan oleh cendawan, maka biji tersebut berwarna gelap dan bobotnya
ringan. Cladosporium sp. sering
menyerang biji yang rusak akibat serangga, hujan lebat dan cuaca dingin.
Tongkol/biji yang terserang Rhizopus
sp. ditandai dengan adanya cendawan berwarna putih menutupi tongkol dan nampak
sejumlah sporangia yang berwarna hitam. Rhizopus
sp. biasanya ditemukan pada biji yang rusak oleh serangga atau hujan lebat
dalam beberapa minggu setelah pembungaan (University of Illinois, 1991).
DAFTAR PUSTAKA
Baco, D., M. Yasin, J. Tandiabang, dan T. Lando. 1992. Pengendalian hama
gudang dengan berbagai wadah penyimpanan.
Bahri, S., E. Taringan, R. Maryam, dan Ng. Ginting. 1989. Kandungan
mikotoksin, Fusarium secara alami pada akar, batang, dan daun tanaman jagung.
Kongres Nasional PFI Denpasar. pp.160-164.
Baiton, S.J., R.D. Coker, B.D. Jones, E.M. Morley, M.J. Nagler,
and R.I. Tunner. 1980. Mycotoxin Training
Manual. Tropical Product Institute London. P.18-62.
Cole, R.J., R.A. Hill., P.D. Blankenship, T.H. Sandera, and K.H.
Garren. 1982. Influence of irrigation and
drought stress of invasion by Aspergillus flavus of corn kernels and peanut
pods. Reprinted form Developments in Industrial Microbiology. Vol.23.
Publication of Society for Industrial Microbiology.
Dharmaputra, O.S., H.S.S. Tjitrosomo, M. Sidik, and H. Halid.
1992. The effect of phosphine on storage
fungi of maize. Biotrop Special
Publication No. 45. 107-119.
Dharmaputra, O.S., I. Retnowati, Sunjaya, dan
S. Ambarwatu. 1993. Populasi Aspergillus flavus dan kandungan
aflatoksin pada jagung ditingkat petani dan pedagang di Propinsi Lampung. Risalah Kongres Nasional PFI XI dan Seminar Ilmiah PFI,
Yogyakarta, 6-8 September 1993. p.560-566.
Dharmaputra, O.S., Sunjaya, dan W. Wakman. 1998. Penanganan pasca panen,
serangan serangga, dan cendawan, serta kontaminasi aflatoksi pada jagung.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Badan Litbang Pertanian,.
Puslitbangtan. Balitjas. Hal.594-604.
Hamilton, P.B. 1986. Aflatoxicosis
in farm animals. Aflatoxin in maize. A proceeding of the workshop. El
Batan. Mexico, April 7-11, 1986. p.51-57.
Joko, S.U. 1990. Penentuan umur panen jagung varietas Arjuna.
Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan
Malang.
Muis, A., S. Pakki, dan A.H. Talanca. 2002. Inventarisasi dan
identifikasi cendawan yang meneyrang biji/benih jagung di Sulawesi Selatan.
Hasil Penelitian Hama dan Penyakit. Balitjas, 2002.
Munkvold, G. 1986. Identyfying
ear rot diseases integrated crop management. Dept. of Plant Pathology. Iowa
State University.
Pakki, S., A.H. Talanca, dan W. Wakman. 2003. Inventarisasi dan
identifikasi cendawan yang menyerang biji/benih jagung. Hasil Penelitian
Hama dan Penyakit. Balitsereal. 2003.
Purwadaria, H.K. 1988. Buku Pegangan Teknologi Penanganan
Pasca Panen Jagung (ed. 2) Deptan FAO, UNDP-Jakarta Indonesia.
Rane, K.G. Ruhi, and Sellers. 2001. Crop Diseases in Corn, Soybean, and Wheat. Dept. Of. Botany and
Plant Pathology Purdue Unievrsity West Lavayette.
Semangun, H. 1991. Penyakit-penyakit tanaman pangan di
Indonesia. Gadjah Mada University Press. 49 p.
Shurtleff, M.C. 1980. Compendium
of corn diseases, 2nd Ed. The American Phytopathological
Sosiety. 105 p.
Sudaryono, T., Erwidodo, dan A. Purwoto. 1994. Pola konsumsi beras,
jagung, dan kedelai, serta implikasinya terhadap proyeksi permintaan.
Hal.122-142. Dalam Mahyuddin Syam et al. (eds). Prosiding Simposium
Penelitian Pangan III. Buku I. Kebijaksaan dan hasil utama penelitian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Wyatt, R.D. 1976. How to minimize problem in your feed. Poult. Trib.,
September:24-27.
Yadgiri, B. and E.M. Reddy. 1976. Aflatoxicoses in poultry. Poult Advis,
April:35-40