HAMA TIKUS PADA EKOSISTEM SAWAH
Ayyub Arrahman dan M.Sudjak Saenong
Balai Penelitian Tanaman
Serealia Maros
PENDAHULUAN
Didukung oleh potensi reproduksi tikus yang tinggi dengan masa bunting dan
menyusui yang singkat maka hama ini mempunyai arti dan peranan yang sangat
berarti dalam menekan usaha peningkatan produktivitas hasil. Pada percobaan
laboratorium, tercatat bahwa dalam 6 bulan saja seekor tikus dapat melahirkan
rata-rata 4 kali pada selang waktu 1-1,5 bulan dengan jumlah keturunan 5-12
ekor dengan nisbah kelamin 1:1 (Rochman dan Sukarna,1991). Masa bunting paling
banyak justru pada saat tanaman padi berada pada fase generatif (masa
bunting-matang susu), sehingga jelas bahwa ternyata masa reproduksi aktif hama
tikus akan kondusif dengan masa reproduksi aktif tanaman.
Identifikasi strategi yang cocok untuk mengendalikan hama tikus telah
banyak dilakukan yakni secara umum adalah menciptakan kondisi ekologi sekitar
agar tidak sesuai dengan habitat tikus (Tandiabang dan Koesnang,1999).
Pemahaman tentang sejarah kehidupan tikus (life history) seperti
perilaku dan bagaimana perubahannya sebagai fungsi dari faktor abiotik dan
biotik seharusnya merupakan titik awal dalam mengevaluasi dan menentukan
prosedur pengendalian tikus (Colvin,1990), dengan teknologi yang tepat, mudah
diaplikasi dan mudah dimengerti petani guna menekan kehilangan hasil oleh
infestasi hama ini.
BIOEKOLOGI HAMA TIKUS
Perkembangbiakan dan Pola Makan
Tikus mempunyai potensi berkembangbiak yang sangat besar. Seekor betina
mampu melahirkan 10-12 ekor keturunan dengan kemampuan akomodasi embrio sekitar
18 embrio. Pada masa puncak perkembangbiakan, tikus betina sangat aktif dan
dapat bunting lagi pada kondisi anak masih dalam susuan. Tikus betina mampu
mengasuh 2-3 generasi dengan selisih umur antar generasi satu bulan. Masa
menyusui berlangsung 3-4 minggu dan menyapih anaknya setelah berumur satu bulan
(Rochman et al., 1998).
Pada daerah yang pola tanamnya teratur dan serempak, perkembangbiakan tikus
mengikuti pola yang teratur pula. Hal ini disebabkan karena perkembangbiakan
tikus terkait erat dengan ketersediaan pakan baik kualitas maupun kuantitas.
Rochman et al. (1982) menemukan bahwa pada daerah-daerah yang berpola
tanam padi-padi setahun terdapat dua periode yang sangat menguntungkan bagi
terjadinya proses reproduksi hama ini.
Habitat dan Ruang Gerak
Habitat tikus mempunyai agro-ekosistem yang berbeda tergantung pada spesis
tikus. Untuk jenis Rattus norvegicus,
R. rattus, dan Mus musculus biasanya berada pada pemukiman manusia,
rumah dan gudang, sedangkan untuk jenis R. argentiventer, R. exulan dan
Bandicota indica berada di areal pertanaman atau di luar pemukiman manusia.
Walaupun demikian, bisa saja suatu saat tikus yang tinggal dipemukinan akan
berpindah (migrasi) ke areal pertanaman terutama jika kondisi pakan berkurang.
Distribusi dari R.argentiventer, R.exulan dan B.indica hanya
disekitar Asia Selatan dan Tenggara, sedangkan R.norvegicus, R.rattus
dan M.musculus mempunyai distribusi geografi yang menyebar ke seluruh
dunia sehingga disebut hewan kosmopolitan (Thamrin et al., 1998).
Tikus adalah mamalia nocturnal (malam) yang mencari makan, pasangan dan
orientasi kawasan pada saat setelah matahari terbenam dan menjelang matahari
terbit (Brook dan Rowe, 1979). Tikus bergerak menempuh perjalanan mempunyai
lintasan yang tetap dan teratur (run ways). Rentang lintasan ditentukan oleh
jarak pakan, tempat bersembunyi atau lubang. Pada stadia bera, masa pengolahan
tanah, persemaian dan stadia bertunas, rentang jarak lintasan agak jauh, yakni
100-200 m semalam, dengan luas teritorial antara 0,25-1 ha, bila padi pada
stadia generatif, jarak tersebut hanya 50-125m dengan luas teritorial 0,025-0,1
ha semalam (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 1992).
Pakan dan Preferensi
Makan
Tikus adalah binatang pemakan segala (omnivora), oleh sebab itu mampu
mengkonsumsi segala jenis pakan yang ada di sekitarnya mulai dari jenis
padi-padian, ubi-ubian, kacang-kacangan, bahkan dapat mengkonsumsi serangga dan
sifut. Kemampuan mengkonsumsi pakan bervariasi menurut jenis pakan yang
tersedia. Pada pakan beras kemampuan konsumsinya sekitar 10g/hari, ubi jalar
23,6g/hari, ubi kayu 20,6g/hari, jagung pipil 8,2g/hari, kacang tanah 7,2g/hari
sedang pada ikan teri 4,0g/hari. Apabila pakan tersebut di atas diberikan
secara bersamaan, maka preferensi makannya tertuju kepada beras (Rochman dan
Sukarna,1991).
STRATEGI PENGENDALIAN
Kegiatan pengendalian tikus seyogianya dirancang secara sistematis yang
disesuaikan dengan kondisi persawahan dan stadia tanaman, misalnya pada kondisi
lahan sawah masih bera berbeda taktis operasionalnya dengan sawah yang sudah
memasuki masa olah tanah. Kegiatan pengendalian pada kondisi tanaman fase vegetatif
berbeda dengan pengendalian pada fase generatif. Untuk mencapai hasil yang
maksimal, maka kegiatan-kegiatan pengendalian seperti tertib tanam, sanitasi
lingkungan sekitar persawahan dan habitat, usaha gropyokan, pemasangan umpan
beracun dan pengemposan belerang harus singkron dengan kondisi lahan dan
tanaman.
KOMPONEN TEKNOLOGI PENGENDALIAN
Komponen
teknologi pengendalian tikus secara garis besar dapat dibagi dalam beberapa
langkah yakni: manipulasi habitat, pengendalian secara fisik/ mekanis,
pengendalian biologis, dan pengendalian kimiawi. Manipulasi habitat tujuannya:
mengurangi atau mengeleminir unsur-unsur yang memberi kesempatan pada tikus
untuk leluasa berkembang (pembersihan gulma, jadwal tanam yang sinkron,
merampingkan dan mengurangin tinggi pematang, pembersihan vegetasi yang ada
disekitar sawah dan penundaan waktu tanam), melakukan tindakan tertib tanam
yang dilaksanakan pada fase pengolahan tanah dan fase generatif, melakukan
kegiatan sanitasi yang dilaksanakan pada fase pengolahan tanah, fase vegetatif
dan generatif.
Pengendalian
fisik/mekanik dapat berupa : melakukan gropyokan yakni dengan menggali dan
membakar lubang tikus. Menggunakan bubu pada persemaian yang telah dipagari
plastik. Kegiatan gropyokan dilaksanakan pada fase bera, pengolahan tanah dan
fase generatif, menggunakan bubu yang dikombinasikan dengan umpan gabah
berkecambah dari stadia persemaian – 30 HST. Pengunaan bambu panjang 2 m yang
diletakkan dipinggir pematang dari mulai primordia - panen untuk menjebak
tikus, penggunaan komponen perangkap bubu yang terdiri atas perangkap multiple
capture trap, pagar plastik dan tanaman perangkap, dan dipasang dalam periode
yang agak lama di lapangan, penggunaan tanaman perangkap (IR64) yang ditanam
lebih awal 15-21 hari dari pertanaman yang ada disekelilingnya, penggunaan
perangkap sejuta bambu dengan spesipikasi panjang 2 m dan 1,5 m dengan diameter
10-12 cm, pada setiap ruasnya dibuat lubang yang akan digunakan tikus sebagai
tempat bersembunyi dan istirahat, pengunaan letupan mercon yang diletakkan pada
lubang aktif.
Pengendalian
biologis dapat berupa : pengendalian populasi tikus secara biologis yaitu
dengan penggunaan predator dan parasit. Predator tikus antara lain anjing,
musang, burung hantu, burung elang dan ular. Penggunaan parasit (virus,
bakteri, protozoa), sebagai contoh penggunaan Salmonella enteriditis, penggunaan
predator anjing yang dilatih sejak umur 2 bulan dan dipandu oleh satu atau dua
orang. Sedangkan pengendalian kimiawi
dapat berupa : penggunaan fumigasi (emposan), yaitu pembakaran belerang dengan
jerami akan menghasilkan senyawa SO2 dan Co yang toxic terhadap tikus.
Sebaliknya fumigasi dilakukan saat pengolahan tanah dan fase anakan. Tindakan
emposan sebaiknya dilaksana-kan pada fase bera dan fase generatif, penggunaan
umpan beracun (rodentisida), baik dari jenis akut maupun yang kronis (Tabel 1).
Penggunaan umpan beracun sebaiknya dilaksanakan pada fase bera dan fase
generatif, penggunaan brodifacum, yakni antikoagulan yang dapat membunuh 100%
dengan satu kali pemberian, penggunaan umpan dengan komposisi beras 15%, ubi
kayu 25%, telur 10%, ubu jalar 3%, kepiting 15%, kelapa 12%. Disamping cara
tersebut di atas, pengendalian kimiawi dapat menggunakan rodentisida, baik yang
sifat akut maupun anti koagulan.
RESENSI
TEKNOLOGI PENGENDALIAN TIKUS
Implementasi
pengendalian hama tikus di lapangan menghadapi beberapa kendala yang dapat
memperlambat atau bahkan menggagalkan operasional kegiatan dalam jangka
panjang. Kendala-kendala tersebut sebagai berikut:
1. Petani
cepat merasa puas setelah berhasil membunuh tikus dalam jumlah banyak, sehingga
tindakan/gerakan pengendalian pada musim berikutnya mengendor atau bahkan
terhenti sama sekali.
2. Inisiatif petani/kelompok tani sangat
terbatas dan senantiasa sangat tergantung pada adanya bantuan atau komando dari
pihak pemerintah.
3.
Penggunaan sarana pengendalian seperi rodentisida dan alat emposan
membutuhkan dukungan dana yang relatif agak mahal, sementara kondisi
sosial-ekonomi petani sangat lemah. Sarana tersebut sangat diperlukan pada
kondisi tenaga kerja yang terbatas menghadapi areal yang perlu dikendalikan
sangat luas.
4.
Keterbatasan jumlah aparat penyuluh dalam
mengkover jumlah petani yang besar berdampak kepada terbatasnya informasi
teknologi yang diterima petani.
5. Sanitasi habitat
terkadang hanya menyentuh daerah sekitar persawahan saja, sedangkan
infrastruktur fasilitas umum seperti saluran irigasi, kawasan perkantoran yang
juga dapat menjadi tempat bersembunyinya tikus tidak terjamah oleh tindakan
pengendalian.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1984. Pengendalian Hama Tikus.
Bhratara Karya Aksara-jakarta. 37 hal.
BPTP IX. 1992. Evaluasi Luas Tanam, Bencana
Alam dan serangan OPT pada Padi Sawah Selama 18 MT (MT 1983 - 1992) Propinsi
Sulawesi Selatan. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Balai Proteksi Tanaman
Pangan IX, Maros, Ujung Pandang.
Brook J. E. and F. P. Rowe. 1979. Comensal rodent control.
Mimeograph WHO/VBC/79726 : 100 hal.
Colvin, Bruce. A. 1990. Habitat manipulation for rodent control. In Rodent and rice report and proceeding
of an Expert Panel Meeting on Rice Rodent Control IRRI. Los Banos. Sept
10-14,1990.
Direktorat Perlindungan Tanaman pangan. 1992. Tikus Sawah.
Kerjasama Teknik Indonesia-Jepang Bidang Perlindungan tanaman Pangan
(ATA-162):10 hal.
Indarto, N. 1984. Five year rat control program in Indonesia. In
The organization and practice of veterbrate pest control. pp. 475-485.ICI Fern
hurst United Kingdom.
Murakami Okimata, Joko priyono and Harsiwi Triastini.1990.
Population management of of rice field rat in Indonesia. In Rodent and
Rice report and Proceeding of an Expert panel meeting on Rice Rodent Control.
IRRI Los Banos.Sept.10-14,1990.
Rochman, Dandi, S., dan Suwulan.1982. Pola perkembangbiakan tikus
sawah Rattus argentiventer pada daerah berpola tanam padi-padi di
Subang. Penelitian Pertanian 3(2):77-80
Rochman dan S. Dandi. 1991. Pengendalian Hama Tikus. Dalam
Buku III Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Rochman, Sudarmadji dan Hasanuddin, A.
1998. Masalah hama tikus dan
cara pengendaliannya pada sistem usahatani di lahan Pasang Surut. Prosiding
Seminar nasional hasil Pnelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang
Surut. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian Lahan Rawa.
Tandiabang, J. dan Koesnang. 1999.
Strategi pengendalian tikus sawah Rattus argentiventer. Seminar Ilmiah
dan Pertemuan tahunan XI PEI, PFI dan HPTI Sul-Sel. Maros 5 Desember 1998.
Thamrin, M., S. Asikin, dan B.
Prayudi. 1998. Pengendalian hama tikus dalam budidaya padai di lahan rawa
pasang surut. Prosiding Seminar nasional hasil Penelitian Menunjang Akselerasi
Pengembangan Lahan Pasang Surut. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian .